Mengukuhkan Tradisi Agraris Melalui “Meleab”

oleh : Adha Nadjemuddin

Tiga pasangan pria dan wanita cantik menari meliuk di atas pentas pertunjukan. Gerakannya seirama dengan tabuhan gendang yang terbuat dari kulit sapi serta gemercik kulintang dari lempengan tembaga. Ragam irama musik bambunya juga memikat. Jemari sang penarinya lentik, halus nan terang saat mendapat sentuhan cahaya lampu panggung.
Pakaian khas warna kuning dipadu biru melekat di badan tiga pasangan penari itu. Bertelanjang dada tanpa alas kaki. Mereka terus menari dengan gerakan mengketam padi ladang, memisahkan gabah dari tangkai dengan cara diinjak-injak di atas tikar yang terbuat dari daun nipa. Membersihkannya dari kotoran dedaunan atau gabah hampa dengan cara menapis, lalu menumbuknya di atas lesung kayu hingga menghasilkan beras.
Ritual memanen padi seperti itu merupakan tradisi nenek moyang masyarakat Tolitoli, dan tak mungkin dijumpai di era pertanian mesin seperti saat ini.
Namun tradisi itu kini diangkat kembali dalam bentuk seni pertunjukan. Tari itu disebut dengan “Meleab”. “Meleab” dalam bahasa daerah Tolitoli artinya membersihkan padi ladang.
“Meleab adalah seni tradisi satu paket. Tari itu menggambarkan proses bertani dari menanam padi, memanen, membersihkan, hingga menumbuknya menjadi beras di atas lesung kayu,” kata Akhiruddin J Umar, aktivis seni tradisi yang juga Kepala Bidang Seni Budaya Dinas Pariwisata Kabupaten Tolitoli.
Keindahan pertunjukan seni tradisional itu tampil dalam “opening art” pentas seni kemerdekaan, semarak peringatan HUT Proklamasi ke 64 di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, Jumat malam.
Seni itu dipentaskan di arena pementasan seni “Tompaa Lelegasan”. Nama ini berasal dari bahasa Tolitoli yang artinya tempat pementasan. Tempat ini resmi menjadi pusat pertunjukan seni sejak tahun 2008 lalu, pasca digelarnya pekan budaya tingkat provinsi Sulawesi Tengah. Tata letak panggungnya membelakangi laut dan pesona keindahan pulau Lutungan. Sebuah pulau yang memiliki sejarah kerajaan Tolitoli. Pancaran keindahan itu menambah hasrat penonton untuk menyaksikan setiap pertunjukan.
Menurut Akhiruddin, hal lain yang melekat di seni tradisi “Meleab” itu yakni seni bela diri. Seni yang satu ini juga warisan orang-orang terdahulu yang hingga kini terus dilestarikan meski tinggal dalam bentuk seni saja.
Konon orang Tolitoli tempo dulu setiap musim panen tidak saja mengandalkan kemampuan tenaga manusia, tetapi juga kekuatan magis, seperti saat memanggil angin. Angin menurut kepercayaan masyarakat Toli-Toli dapat didatangkan dengan kekuatan magis.
Angin sangat diperlukan untuk membersihkan gabah dari kotoran helai daun padi atau gabah hampa. Angin dibutuhkan untuk menerbangkan kotoran itu sehingga yang tersisah adalah gabah murni yang siap diolah menjadi beras.
“Pada sesi seperti ini orang-orang dulu biasanya menggunakan kekuatan magis untuk mendatangkan angin atau menerbangkan gabah ke udara dari dalam bakul,” kata Akhiruddin.
Pasca panen sebagai ungkapan syukur, petani zaman kerajaan tempo dulu juga menggelar acara syukuran pada malam hari. Hasil panen dihidangkan di depan raja atau Gaukan dan jajarannya.
Seni tradisi “Meleab” sudah mendapat penghormatan dari pemerintah. April 2008 lalu tari ini dipentaskan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dalam acara pesona budaya Indonesia.
“Saat tampil di TMII itulah kami mendapat tawaran untuk tampil di Malaysia dan Brunei Darussalam. Kami diundang oleh kedutaan Malaysia dan Brunei. Tapi belum terkabul karena sesuatu hal,” kisah Akhiruddin.
Tari “Meleab” tidak terikat dengan jumlah penari. Tari ini bisa juga dalam bentuk tari massal yang dimainkan oleh puluhan atau bahkan lebih dari 100 orang. Namun malam itu, tari ini hanya dimainkan oleh enam penari. Tiga pria dan tiga wanita.
Tari ini merupakan tari kreasi baru yang diciptakan oleh seniman lokal, Djefri Yakobus. Musiknya diciptakan oleh Achan Lagare. Alat musiknya beragam mulai dari gendang, kulintang, gong dan bambu.
Menurut Achan Lagare, alat musiknya sengaja diambil dari alat-alat musik tradisional untuk menguatkan nilai dari tarian tradisional itu sendiri.
Seni tradisional lainnya yang juga memeriahkan pentas seni kemerdekaan di Tolitoli adalah musik tradisional “salamatan tau pangae” atau syukuran para nelayan. Tanggal 16-18 Juli lalu, seni musik “salamatan tau pangae” ikut ambil bagian pada festival gamelan ke-14 di Jogyakarta.
Ide dasar musik ini diambil dari upacara adat “magandulan bangga” atau prosesi pengarungan perahu ke laut dengan tujuan tolak bala. Perahu diturunkan pada subuh hari. Tradisi ini merupakan warisan tradisi masyarakat nelayan Tolitoli sejak zaman dulu. Sebelum acara penurunan perahu, lebih dulu dibuat acara syukuran dengan memainkan beberapa kesenian rakyat seperti lelegesan (nyanyian berbalas pantun), ei-ei (nyanyian ungkapan hati), rebbana, dan Maragai (pencak silat).
Lelegesan merupakan seni tradisi yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Tolitoli. Menurut Achan Lagare, penata musik “salamatan tau pangae”, nyanyian lelegesan bersifat situasional. Nyanyian ini menceritakan kondisi yang terjadi di sekeliling masyarakat dengan spontan. Konon banyak dari orang-orang tua dulu menemukan jodohnya saat berbalas pantun di acara-acara pesta rakyat.
Ketua Dewan Kesenian Tolitoli (DKT), Iskandar Nasir mengatakan, pementasan seni tersebut merupakan upaya DKT untuk melestarikan seni budaya Tolitoli. Dia berharap seni ini dapat menembus lintas kebudayaan global.
Sofyan Joesoef, ketua panitia pegelaran mengatakan, seni tradisi seperti “Maleab” dan “salamatan tau pangae” sengaja dipentaskan dalam memeriahkan HUT Kemerdekaan sebagai refleksi atas budaya pertanian masyarakat lokal ditengah pergumulan modernitas saat ini. Sofyan mengatakan, seni tradisi budaya lokal memiliki nilai seni tinggi yang tidak bisa dinafikkan perannya dalam pembentukan karakter bangsa.
“Seni ini diharapkan menjadi asset bagi daerah dari sisi kepariwisataan. Selama ini kita hanya dimanjakan dengan budaya pop saduran. Padahal kita punya potensi musik tradisional yang bisa dikembangkan,” tandas Sofyan. (antara)