Nyawa dan Kasmir Takkan Kembali Lagi

Oleh : Adha Nadjemuddin

Rumah berukuran 4 X 6 meter di Kelurahan Kali itu sederhana sekali. Berdinding dari susunan batu karang. Tidak diplester. Hanya ada dua kamar tidur yang disekat dengan dinding tripleks. Tralis jendelanya tercipta dari kayu, tertutup gorden kain tipis.

Tidak ada daun jendela, sehingga angin dengan leluasa masuk berseliweran dalam rumah kecil itu. Dapurnya berlantai tanah. Memasak di atas tungku kayu bakar. Halamannya cukup luas, tapi tidak terurus.

Hanya ada dua kursi tamu dari kayu yang sudah pucat karena catnya luntur. Dengan ramah nan santun, wartawan pun dipersilahkan duduk di atas tikar plastik.

Di rumah itulah Kasmir Timumun, korban tewas di sel tahanan Polsek Biau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, dibesarkan.

Menuju rumah ini tidak sulit asal sabar melintasi jalan rusak sebab kondisi jalan raya dalam kota Buol lebih banyak rusaknya daripada bagusnya.

Hari itu, rumah kecil di permukiman penduduk ala kampung itu, sedang berkumpul saudara kandung dan keluarga lainnya. Mereka sedang siap-siap menghadapi malam ke-7 meninggalnya Kasmir.

Seperti tradisi umumnya, malam ke-7 kematian seseorang dilakukan pembacaan doa bagi arwah dan tahlilan sehingga orang akan berdatangan. Bagi orang mampu, biasanya memotong sapi.

“Kami siapkan apa adanya untuk malam ketujuh almarhum, sebab sampai sekarang kami belum terima bantuan satu sen pun dari pemerintah,” kata Ahmad M Luwas, kakak ipar Kasmir.

Di malam hari, rumah itu sepi karena pusat tahlilan dilaksanakan di Bundo, Kelurahan Leok, rumah paman alamarhum. Di sanalah jasad Kasmir disemayamkan, hingga diotopsi.

“Di rumah sini dia besar, tapi mayatnya diurus di Bundo karena rumah om di sana sedikit luas,” kata Ahmad.

Sejak usia empat tahun, Kasmir sudah ditinggal ayahnya Yusuf Timumun yang meninggal dunia karena kecelakaan kerja di kebun. Saat itulah Kasmir Timumun dibesarkan kakak iparnya, Ahmad M Luwas pasangan Halima Y Timumun.

Selama 15 tahun, Kasmir berada dalam didikan Ahmad-Halima hingga menemui ajalnya di dalam sel Polsek Biau dalam usia 19 tahun.

Di mata Ahmad, Kasmir adalah pria pekerja keras dan bersemangat. Punya tekad maju meski hanya berbekal pendidikan kelas III sekolah dasar.

“Apa saja yang bisa menghasilkan, Kasmir tidak malu bekerja. Biasa kerja di bangunan,” kata Ahmad.

Tahun 2005, ibu kandung Kasmir, Nurbaya Suhu, menyusul suaminya ke alam kubur. Sejak itulah, Kasmir menjadi yatim piatu sehingga hak asuh diambil alih kakak tertuanya.

Dua bulan terakhir, Kasmir mulai beralih pekerjaan dari kuli bangunan. Ia memilih mengojek dengan motor yang diperoleh dari hasil kerja bangunan yang ia kumpulkan hingga akhirnya cukup untuk uang muka cicilan sepeda motor.

“Motor yang dia pakai menabrak itu baru dua bulan dibeli. Itulah yang dia pakai mencari uang dengan ojek,” kata Ahmad.

Minta diantar
Sabtu (28/8) malam, Saddam Jasmin seorang penumpang ojek meminta diantar Kasmir ke Desa Busak, sekitar 27 kilometer arah Boul, untuk keperluan menagih uang upah kerja batu bata.

Sepulang dari Desa Busak itulah, Kasmir menabrak seorang anggota polisi lalu lintas hingga akhirnya membawa prahara yang berujung tewasnya delapan warga sipil akibat peluru tajam, puluhan korban luka-luka, aksi pembakaran, serta hilangnya harta benda bagi sebagian anggota Polri.

Prahara itu muncul seketika atas nama solidaritas.

“Massa yang turun itu bergerak secara spontan. Bayangkan Pak Karim Hanggi (tokoh dan mantan bupati Buol) sudah bicara melalui telepon agar menahan diri untuk tidak turun, tetap saja sulit dibendung,” kata Mahmud Hanggi, seorang anggota keluarga Kasmir.

Mahmud Hanggi adalah keluarga paling pertama yang melihat Kasmir tergantung di bawah pintu sel Polsek Biau. Jantungnya terasa copot begitu melihat Kasmir tergantung dengan sarung di leher. Jarak kaki dengan lanti hanya sekitar 10 centimeter.

Nyawa melayang, motor yang baru dicicil pun tak tahu lagi dimana kini rimbanya.

“Motor baru dua bulan itu tidak tahu dimana sekarang, mungkin di Polsek Biau,” kata Ahmad.

Kasmir adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ia hidup dalam suasana keluarga yang serba kekurangan, tetapi punya keluarga besar baik dari pihak ibu maupun ayahnya.

Karena kawin , klan atau marga juga kian melebar. Dari pihak ayah ia menyandang klan Timumun, dari pihak ibu melekat klan Hanggi.

Dua klan ini cukup dikenal luas di masyarakat Buol dan sekitarnya. Selain itu juga ada klan Turungku, Batalipu, Butudoka, Bakulu, Mbou, Mangge, dan beberapa klan lainnya. Kendatipun banyak klan , masyarakat Buol adalah masyarakat satu etnis, satu rumpun bahasa.

Kasmir tidak bisa melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Ia hanya sekolah sampai kelas III SD. Begitupun saudara kandungnya yang lain, tak ada yang bersekolah tinggi.

Menurut keluarga, Kasmir adalah pria taat. Hingga ajal menjemputnya di sel tahanan, ia tetap menjalankan ibadah puasa Ramadhan, meski dalam kondisi yang tidak bersahabat dalam tahanan.

“Selama dalam sel, almarhum tidak pernah putus puasanya. Bahkan sampai hari ditemukan meninggal, Kasmir masih puasa. Saya datang bawa makan buka puasa. Tapi sayang, saya dapat kabar Kasmir sudah almarhum,” kata Jamaluddin, kakak kandung korban. (antara)

http://www.antaranews.com/berita/1284258486/nyawa-dan-motor-kasmir-tak-kembali-di-buol

Ketika Senjata Api Mengoyak Hati Rakyat Buol

Oleh Adha Nadjemuddin

Stevani Verawaty, 17 tahun, terkulai tak berdaya. Tubuhnya tampak lentur sekali seperti tak bertulang saat digendong masuk ke kamarnya.

Wartawan foto dan kamerawan televisi segera menyorot putri pertama Saktipan Kapuung, suami Dahlia Sondak yang merupakan ayah dan ibu Verawaty.

Dia shok atas tragedi kemanusiaan yang menewaskan ayahnya Saktipan Kapuung dalam bentrokan antara warga sipil bersenjata batu melawan polisi yang memegang senapan mesin otomatis di Buol, Sulawesi Tengah pada Rabu dini hari, 1 September 2010.

Saktipan bersimbah darah di atas motornya saat timah panas bersarang di rusuk kiri bapak empat anak itu.

Nasib nahas itu menimpanya saat pulang dari rumah sakit setelah membawa seorang korban penembakan lainnya. Dalam perjalanan pulang itulah, Saktipan tertembak hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit pada Kamis (2/9).

“Kami berpikir penembaknya tersebar karena ia ditembak jauh dari kerumunan aparat dan orang-orang yang berhadapan dengan polisi,” kata Abdi Turungku, adik ipar korban.

Abdi menduga, kakak iparnya itu dua kali ditembak karena dua lubang sekaligus melukai bawah ketiaknya. Tapi anehnya tidak ditemukan proyektil bersarang di tubuh pria itu.

“Tidak mungkin hanya satu peluru dalam dua lubang yang berbeda,” kata Abdi.

“Kami sakit sekali. Terus terang ini sadis,” tambah Abdi.

Kelurga almarhum meminta kasus ini segera dituntaskan sebab sampai malam ketiga kematian almarhum belum ada tanda-tanda tegaknya kebenaran di mata keluarga korban.

Pada 1 Oktober tahun ini, usia Saktipan genap 48 tahun. Sebagai Kepala UPT Transmigrasi Buol, Saktipan baru saja menyelesaikan pendidikan transmigrasi di Jakarta.

Ia pulang ke Buol berkumpul bersama keluarga mengisi bulan Ramadhan, menanti tibanya Idul Fitri. Tapi takdir berkata lain, Tuhan memanggilnya lebih awal sebelum Idut Fitri tiba.

Timah panas dari senapan otomatis milik polisi yang melukainya membuat empat putrinya menjadi yatim dan istrinya Dahlia kini berstatus janda.

“Saya sangat berharap masalah ini segera tuntas,” tutur Dahlia Sondak, istri almarhum.

Berubah sikap

Menurut dia, almarhum mengalami perubahan sikap dalam keluarga sepulang dari pendidikan di Jakarta. Dia banyak diam bahkan sehari sebelum wafatnya, almarhum meminta maaf kepada sang istri dan menitip putri bungsunya Apriali Ningsih (5 tahun) untuk dirawat.

Dahlia tidak menyangka kalau sikap almarhum itu merupakan pertanda ia akan segera pergi selamanya ke pangkuan sang pencipta.

Malam itu malam ketiga meninggalnya almarhum. Suasana rumah sedikit masih sepih karena jemaah ta`zia belum berdatangan. Sebagian besar masih di masjid menunakan salat tarwih.

Silvena, 15 tahun, putri kedua almarhum dan dua adiknya yang lain sudah duduk bersila hendak menyambut tamu malam ketiga. Silvena merunduk. Air mata di pipi disekanya dengan jilbab yang bertenger di kepala. Foto ayahnya yang telah tiada itu dipangkunya.

“Sebelum meninggal, papa bilang saya sudah besar. Papa tepuk bahu saya. Kata papa, saya sudah besar. Sekolah yang baik nak,” ucap Silvena mengenang pesan terakhir sang ayah.

Tak pernah dijajah

Tragedi berdarah di Buol yang menewaskan delapan orang dan puluhan lainnya luka-luka adalah peristiwa paling buruk dalam sejarah Kabupaten Buol.

Selama ada gejolak di daerah ini, belum ada darah yang tumpah ke bumi dan nyawa yang melayang sia-sia, kata Raja Buol XII Ibrahim Turungku.

“Di sini sering ada demo, tapi tidak sampai seperti ini. Peristiwa ini paling buruk selama Buol ini ada,” katanya menambahkan.

Lain daerah lain pula adat istiadatnya. Begitu juga di Buol. Kekerabatan dan kekeluargaan masyarakat Buol sangat kental sebab asal muasal Buol hanya satu rumpun. Tidak ada sub etnis di Buol. Jika etnis Bugis menyebut kata ibu beragam nama, seperti indo, emma, mama, yang semuanya artinya ibu, maka di Buol sebutan ibu hanya satu, `tiina.`

“Ini yang membuat kami kuat,” kata Ibrahim.

Selain mengenal sistem pemerintahan, masyarakat Buol juga masih kental dengan sistem kerajaan. Kerajaan Buol sudah ada sejak tanggal 15 Agustus 1858. Raja pertamanya bernama Mohammad Noer Aladin. Sekarang Buol sudah dipimpin raja ke-12.

“Catatan Kerajaan Buol yang ada di tangan kami ini difoto copy dari Nederland,” kata Ibrahim.

Menurut Ibrahim, etnis Buol tidak pernah dijajah oleh Belanda. Memang ada Belanda di Buol, tetapi tidak berhasil menjajah. Kerajaan Buol tidak mau dijajah sehingga Belanda mengajak masyarakat Buol bekerja sama dalam membangun.

“Terus terang kami tidak pernah dijajah. Tapi kami bekerja sama, buktinya istana raja ini dibikin oleh Belanda,” kata Ibrahim.

Abd Razak M Razak, tokoh muda terdidik Buol mengatakan, karakter masyarakat Buol sangat terbuka.

“Sepanjang kami tidak diinjak, `welcome`,” kata Razak.

Dia menilai, tragedi Buol adalah bentuk perlawanan rakyat atas berbagai masalah dan ketidakadilan.

Menurut Razak, konflik vertikal di Buol saat ini adalah akumulasi kekecewaan masyarakat dari berbagai masalah yang selama ini terpendam seperti diskriminasi penanganan unjuk rasa, arogansi oknum aparat keamanan, dan tindakan-tindakan negatif lainnya seperti kompensasi uang dari pelanggaran lalu lintas.

“Sudah jadi rahasia umum, `sweeping` sepeda motor di sini kompensasinya Rp50 ribu tiap satu pelanggaran,” kata Razak.

Kapolda Sulteng, Brigjen Pol Muh Amin Saleh mengatakan, akan bertindak tegas dan objektif sesuai fakta-fakta di lapangan.

“Sampai sekarang kita masih kumpulkan bukti-bukti,” kata Amin Saleh.

Kasus Buol, menurut Kapolda, dibagi dalam tiga kategori kejadian yakni tewasnya tahanan di Polsek Biau, warga yang meninggal karena tertembak dan peristiwa penembakan tanggal 1 September 2010.

Begitu juga dengan materi pelanggaran. Pelanggaran dalam tragedi Buol terdiri atas pelanggaran disiplin, kode etik, dan pelanggaran pidana.

Hingga hari ke empat pascabentrokan, baru satu anggota Polri berpangkat brigadir yang mengarah pelanggaran pidana.

Tragedi berdarah di Buol ini pecah pascakematian Kasmir Timumun di sel tahanan Polsek Biau pada Senin (30 Agustus).

Polisi mengatakan Kasmir menngal karena bunuh diri, namun rakyat tidak percaya dan menunduh polisi melakukan penganiayaan karena di tubuh korban ditemukan luka-luka memar dan mulutnya tersumpal kertas.

Ribuan warga kemudian berdemo ke Mapolsek Biau Selasa (31/8) namun mereka dihadang personel polisi dan sejumlah anggota Brimob bersenjata otomatis dan mepeaskan tembakan dengan alasan membubarkan massa dan mempertahankan diri dari serbuan warga.
(antara)