Mobil Mogok

Longki Dorong Mobil Mogok

Sore sepulang liputan, di tempat biasa, saya bilang ke beberapa teman. “Kok Gubernur Pak Longki kelihatan kurang senyum beberapa pekan terakhir,” kataku.

Seorang teman langsung nyundul. “Bagaimana dia tidak marah-marah kalau pemerintahan yang ia pimpin sudah seperti mobil mogok,” kata teman itu.

Saya kaget mendengar kata-kata itu. Berarti selama ini gubenur Longki sedang bekerja keras mendorong mobil mogok itu agar bisa jalan lagi. “Tapi kok bisa,” kataku menimpali.

“Iya. Ibarat mesin. Mesin itu sudah karatan sehingga banyak onderdilnya tidak berfungsi,” sambung temanku lagi.

Boleh juga analisa teman itu. Mungkin juga ada benarnya pikiran itu, sebab sejak Longki/Sudarto dilantik jadi gubernur, hampir setiap hari keduanya mendendangkan lagu reformasi birokrasi. Hampir setiap pertemuan formal, Longki dan Sudarto nyaring sekali mendendangkan reformasi birokrasi.

“Tapi apa betul Longki dan Sudarto menerima warisan mobil mogok. Tidak mungkin,” kataku sambil menyeruduk kopi pahit buatan Bu Jumi.

“Eh, kau tahu tidak? Pekerjaan rumah gubernur Longki dan Sudarto itu berat sekali. Perlu kau tahu itu Adha,” seloroh temanku di pojok meja sana.

Saya cuek. Seakan-akan saya tidak mendengar seloroh kawanku itu. Kukeluarkan laptop dari tasku. Saya pun memulai kerjaku. Menulis berita. Sambil mengetik, rasa penasaranku belum terjawab. Saya kembali melempar satu pertanyaan.

“Bagaimana mungkin Pak Longki bisa pusing. Kan realisasi APBD kita tahun ini masih di bawah 50 persen. Artinya, masih ada 50 persen lagi yang bisa dikerjakan. Kenapa harus pusing,” tanyaku.

Temanku yang berdiri di pojok lain, menyundul. “Mungkin itu tinggal fisik saja yang belum direalisasi. Tapi sudah habis dibagi-bagi. Uangnya sudah diposting, untuk ini, untuk itu,” kata temanku itu.

Ohh, pikiranku tambah kacau. Sebatang rokok Vegas andalanku kembali saya isap. Kulempar asapnya di hadapan teman-temanku. Biar mereka tahu kalau baunya tidak sedap. Segelas kopi buatan Bu Jumi kembali saya sambar. Kawan yang lebih tua di samping kananku, juga angkat bicara. Pendapatnya lebih bijak dari yang lain.

“Tidak usah kalian pusingkan apakah itu mobil mogok atau mesin rusak. Sekarang bagaimana kita bantu pemerintah memperbaiki negeri ini. Kita bantu Longki dan Sudarto mendorong mobil mogok itu kalau memang benar dia mogok,” kata temanku yang lebih senior itu.

“Hmmm…bukankah lebih baik mesin rusak kita ganti saja, daripada makan ongkos,” gumamku.

Entahlah… ceritanya kita sambung besok saja ya he he he….

23 Juli 2011

Tinggalkan komentar