Buaya

Mungkin Kita Juga Buaya

Tengah malam saat pulang dari markas wartawan, saya menjumpai orang-orang berkerumun di jembatan dua Palu, Jalan I Gusti Ngurah Rai. Saya kaget. Saya pikir ada kecelakaan atau bentrok warga. Ternyata orang-orang itu sedang memperhatikan buaya di sungai.

Saya ikut gila ingin melihat binatang berdarah dingin itu. Saya arahkan cahaya lampu motorku ke sungai. Yang lain juga begitu. Supaya cahayanya terang dan pas kena badan buaya, motor kami raungkan, lalu mengambil posisi yang pas. Sudah saya paksa setengah mati, buayanya tidak juga kelihatan.

Di sampingku ada bapak bersama istri dan anak laki-lakinya. Bapak ini sempat melihat buaya itu. Dia juga melihat buaya itu menyergap seekor ayam yang dibuang pengunjung dari bibir sungai.

“Besarnya seperti penyangga jembatan baja ini,” katanya mencontohkan, sembari menunjuk rangka baja jembatan di dekat kami.

Bapak itu ternyata bukan baru kali itu melihat buaya di sungai Palu. Sebelumnya ia juga melihat buaya lebih besar dari malam itu.

“Di dekat jembatan gantung sana, lebih besar lagi,” cerita bapak itu.

Bapak itu mengarahkan telunjuknya ke arah jembatan gantung yang menghubungkan Kelurahan Nunu dan Maesa. Jaraknya kira-kira dua kilometer dari jembatan dua. Bapak itu yakin bahwa buaya di jembatan dua bukan buaya dari jembatan gantung.

“Buaya di jembatan gantung itu sering diberi makan ayam. Dia muncul hanya dalam waktu tertentu,” kisah bapak itu lagi.

Saya mulai menghubung-hubungkan kehadiran buaya itu dengan anak-anak yang kerap hilang setiap tahunnya di sungai Palu. Mungkin buaya itulah yang memangsa anak-anak itu. Jasad mereka tidak ditemukan. Termasuk pakaian di badannya.

Dasar buaya, binatang hidup dan bangkai apa saja dilumatnya. Manusia pun bisa berakhir nyawanya ketika disergapnya. Sekali Anda hadir dimoncongnya, selamat tinggal. Anda tidak akan bisa menghirup udara lagi.

Tapi buaya ini masih mending karena dia tidak mengembat uang, tanah, mobil, dan jabatan. Buaya juga tidak mengenal istilah dem (penghapusan aset). Tidak mengenal korupsi, kolusi dan nepotisme. Ada buaya yang lebih ganas dari buaya Palu itu. Namanya buaya darat. Buaya yang ini paru-parunya dobel. Semua organnya ganas, termasuk pikirannya.

Buaya yang ini takkan terlawan. Sekali buaya ini mengembat, puluhan bahkan ribuan orang bisa jatuh miskin. Sengsara sampai ajalnya tiba. Jauh lebih berbahaya dari buaya-buaya di sungai Palu itu. Mungkin saya, anda dan mereka, juga buaya. Entahlah…***

Satu respons untuk “Buaya

  1. Nanang I. Palirante 25 Juli 2011 / 12:54 am

    Kita semua Memang Buaya Perlu ada pemahaman Terhadap itu, yg menjdi Poin Penting adalh Bagiman Mngkal sift Buaya itu pad diri Masing2 sehgga minimal sifat Asli (budaya)Kita tidk diketahui Oleh org lain.

Tinggalkan komentar